LEBARAN WAKTU ITU
Setelah satu bulan di kampung halaman. Satnya aku kembali ke perantauanku lagi. Aku yang slalu kangen akan kampung halaman begitu sebentar terasa saat menghabiskan waktu disana. Apalagi dengan orang-orang yang selalu aku sayangi membuat betah dan tidak mau balik lagi ke Kalimantan. Hal yang terindah yang tak pernah aku lupakan adalah saat wajahku menatapnya, saat ragaku bersamanya, puasa tahun itu begitu cepat, walaupun dengan penuh perjuangan saat menjalani ibadah. Tapi hati tersa lebih tenang dengan rukun islam yang ke-3 itu. Suara takbir yang terdengar dari setiap penjuru, sekejap meluluhkan hati kecil ini. Sentuhan kalimat begitu indah menyebut kebesaran-MU. Namun lebaran itu menambah deretan panjang cerita keluargaku. Ayah dari ibu( kakek) di panggil Tuhan YME. Setelah kurang lebih satu bulan beliau sakit dan sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, sempat aku merawatnya di rumah sakit. Hari yang penuh sejuta kenangan dalam hidupku. Adindaku tersayang yang selalu ada , yang slalu menyayangiku tanpa lelah, sehari menemani dengan penuh keikhlasan di rumah sakit. Ada tawa di waktu kakek terbaring lemah tak berdaya, walaupun kakek nggak tahu apa sebenarnya sakit yang ada di badannya. Kadang terasa sakit diwaktu malam hari, kasihan jika melihat kondisinya seperti itu. Sebab kejadiannya sebenrnya hanya terpeleset saat pergi ke masjid, yang kemudian menyebabkan pembengkakan ditulang belkangnya. Dokter memfonisnay terkena low back pain atau sakit pada pinggang. Itulah yang membuat sakit, apalagi umur kakek yang sudah cukup tua(90 tahun) membuat penyembukannya menjadi agak sedikit mengalami kendala. O iya, namaku Eko umur kusekarang 23 tahun, aku anak ke dua dari 4 bersaudara. Tempat tinggalku di Pontianak KALBAR, cukup jauh jika kepengen pulang kampung. Karena kampung halamanku di magelang Jawa Tengah. Tidak terasa sudah 2 tahun tinggal disini, sambil kuliah aku terus berusaha mencari jati diriku yang sebenranya(berusaha untuk sukses). Kembali ke cerita kakek, setelah empat hari dirawat di rumah sakit Alhamdulallah keadannyan mulai membaik. Kakekpun bersi keras pengen minta pulang ya walaupun dokter belum mengijinkan, tahu sendirilah namanya kakek-kakek (mau menang sendiri). Akhirnya kakekpun dibawa pulang,walau belum sembuh benar. Dengan menyarter sebuah opelet, aku dan keluarga membawanya ke rumah. Senang rasanya kakek di bawa pulang. Seakan kakek tarbebas dari kamar rumah sakit yang membosankan. Sampai di rumah keluarga yang lain sudah menantinya. Penuh binary beberapa mata yang terpancar, terutama sang istri kekek yaitu neneku sendiri. Walaupun lebih muda dari kakek, fisik nenek malah bisa dibilang lebih rentan dari kakek. Tubuh yang sudah membungkuk menandakan kekerentanan tubuhnya. Tiga hari berlalu, berharap kondisi kakek terus membaik. Namun kadang harapan memang tak sesuai keinginan, kakek slalu berteriak kesakitan. Katanya dia pengen cepet mati saja jika harus kaya gini, kata-kata itu juga yang dikatakan di rumah sakit, sesekali ku jawab (istighfar kek). Tengah malam itu saat orang terlelap tidur, ayahku membangunkanku. Katanya kakekmu sakit lagi, ayo kesana(kata ayahku membisikkan sambil membangunkan aku yang sedang bermimpi indah). Beranjakklah aku dan ayhaku kesana( rumah kakekku). Para keluarga sudah banyak yang berkumpul , sambil membacakan surat yasin. Aku yang masih agak ngantuk seketika langsung ambil air wudhu dan ikut membacakan surat yasin untuk kakek. Terasa dingin tubuh kakek, bayanganku sudah yang macem-macem waktu itu, ditambah juga tangisan anak-anaknya yang membuat aku juga ikut bersedih dan tak bisa meneteskan air mata. Terdengar seruan saur (saur,saur,saur). Karena aku dan ayahku besuk puasa maka kamipun pulang untuk saur. Ibu yang belum bangun mengharuskan ayahku untuk menanak nasi, maklumlah ibu sedang hamil jadi gak boleh terlalu capek, kasian kata ayahku. Selesai saur terdengar pamanku pergi bergegas seperti ada sesuatu yang terjadi pada sang kakek. Akupun langsung menyusul dengan ibu, mudah mudahan gak ada terjadi sesuatu dengan kakek(dalam batinku). Kaget setelah kakek sudah tiak menghiraukan nafasnya, air mata tak terbendung lagi. Kakek yang slalu menemani nenek sudah pergi ke sisi-NYA. Kini tak ada lagi seorang yang berjiwa seperti kakek(humoris, pekerja keras, dan yang pasti slalu sayang sama keluarganya). Kakekpun di semayamkan di makam tempat tinggalnya. Rasa berkabung menyelimuti keluarga apalagi sebenter lagi menuju hari kemenangan. Otomatis aku kehilangan satu keluarga. Namaun itu memang sudah menjadi suratan takdir. Aku dan keluarga harus kuat menghadapinya. Karna ada kehidupan juga pasti ada kematian. Lima hari berlalu, dan hari kemenangan itu tiba. Setelah selesai mengaji di tempat kakek, dengan rasa terharu karna sebulan penuh rasa haus dan dahaga ini menguji keimananku. Allahuakbar takbir berkumandang di setiap suara , bahkan pepohonan pun menyerukannya. Setlah berbuka dan sholat maghrib aku menuju tempat adinda, seseorang yang slama ini aku sayangi. Dia begitu sederhana dan apa adanya, itulah yang membuat aku begitu menyayangi dia. Sampailah aku dirumah Adinda, dengan mengucap salam aku memanggilnya. Assalamualaikum (kataku), dengan suara lirih dan sambil tersenyum dia menjawab(wa’alaikum salam). Beberapa menit duduk ayahnya keluar, dari mana dik?(kata ayah adinda), sahutku (dari rumah pak). Singkat cerita aku dan adinda minta ijin untuk malam lebaran, sekedar jalan-jalan untuk melihat keramaian lebaran dikota magelang yang terkenal ramah itu penduduknya. Begitu ramai setiap sudut perkotaan, sampai jalan alternatifpun begitu banyak dipenuhi sepeda roda dua. Anak-anak sampai orang tua pun ikut bersuka cita memperingati malam Idul Fitri. Alun- alun yang menjadi pusat kota magelang itupun tak lepas dari titik utama untuk berkumpul . terasa capek setelah beberapa jam di atas sepeda motor , tempat duduk dibawah pohon menjadi target kami utk beristirahat dan tentunya sambil bercengkerama disana. Tawa selalu mengikuti di setiap cengkerama kami, rasanya begitu sangat lengkap saat berada di sampingnya. Sampai-sampai perut kosongpun terasa kenyang. Pukul sebelas jam menunjukkan di HPku, karena belum makan adinda mengajak makan bakso special dikota magelang. Beberapa puluh meter dari Alun-alun, ad ataman yang di sampingnya banyak menjual makanan. Dengan rasa lapar, bakso kecil-kecil itu melambai-lambai seperti memanggil. Motor aku standarkan di puinggir jalan, mang baksonya dua yang special ya!(kataku), teh manis sebagai pelengkap juga ku pesan. Tawa-tawa kembali mengisi kekosongan di sela kebersamaan di tahun baru itu. Malam begitu larut, tapi lalu lalang sepeda masih begitu ramai. Sesekali ku lihat kembali jam di HPku, kaget saat jam menunjukkan pukul 00.30 WIB. Bergegas pulang aku dan adinda meniju kerumah. Takut kena marah karena sudah janji sama bapak tidak akan pulang terlarut malam. Uadara yang tersa dingin dan menembus tulang sumsumku membuat semua badanku menggigil. Setelah kurang dari satu jam perjalanan sampailah kami di rumah Adinda, ibu sudah tidur dan bapak masih di rumah tetangga, maklumlah kan malam lebaran. Duduk sejenak untuk melepaskan rasa letiihku. Sesekali memandang wajah adinda yang sepertinya sedikit capek. Akupun pamit pulang, agak sdikit kesal karena sesuatu yang ku harap tidak dikasihnya. Udahlah ku mau pulang( jawab rasa kesalku ke adinnda). Tapi di balik semua itu aku malah bersyukur bisa mendaptkannya, yah karna di jaman seperti sekarang ini mungkin susah mendapatkan cewek seperti dia. Hari berganti hari, ketakutanku akan pertambahan waktu, karena aku juga harus kembali ke Pontianak walupun males banget sebenarnya. Tiga hari sebelum pulang ku pesan sebuah tiket kapal menuju Pontianak di agen terdekat dari rumahku, walau harga tiketnya lebih mahal dari harga sebenarnya, tapi karna jika ke semarang mungkin waktunyapun sangat menyita, dan jika dihitung-hitung harganya juga sama. Hari itu tepat tujuh hari kakek meninggal dunia, dari pagi aku sibuk membantu untuk pengajian. Setelah selesai acara pengajian, HPku berbgetar ada sebuah es-em-es, pesan satu masuk dari adinda yang menyuruhku datang kerumahnya. Walaupun agak gerimis ku sempatkan untuk datang. Beberapa menit ku duduk, kepala terasa sangat berat dikepalaku. Kenapa(adinda menayakan keadaaanku), (pusing) kataku menjawab pertannyaanya. Diambilkanlah sebuah balsam dari kamarnaya, di usapkan ke bagian leher supaya berkurang anginnya. Bapaknyapun menemani kami di ruang tamu, dengan bicara ini dan itu, yang sebenarnya aku juga gak ngerti karna kepala ini yang membuat aku tidak bisa konsentrasi. Setelah terasa begitu berat dan badan yang begitu panas aku meminta ijin untuk pulang. Dengan tenaga yang sebenarnya tidak bisa mengendarai motorku, aku paksakan untuk sampai kerumah. Kanan kiri arah motor tak tentu, perjuanagan keras untuk melewati rintangan. Alhamdulllah setelah sepuluh menit sampailah dirumah,(ma,, aku pulang) dengan rasa sedikit gemetar aku mamanggil mama. Kusuruh mama panggilkan tukang urut untukku, karena lama aku sendiri yang memanggil. Kurang lebih dua jam semua badan diurut, aku tertidur di lantai yang ku beri kasur diatasnya. Rasa panas itu memberi ketidaknyamanan untukku. Pagipun datang, matahari dan suara kicau burung seakan membangunkanku. Tapi selimut yang berada diatas tubuhku masih begitu rapat menutupi semua badanku kecuali mukaku mata yang masih berat ku buk perlahan. Mama yang sedang masak didapur memanggil dan menanyakan keadaanku( gimana nak demammu?). (Masih begitu berat malahan seperti berputar dunia ini) sahutku. Dengan badan mengigil ku tak bisa bayangkan di perjalanan nanti. Padahal aku sudah membeli tiketnya untuk berangkat. Mama yang juga cemas akan keadaanku menyuruh menunda keberangkatanku. Tapi mau gimana lagi terlanjur aku pesan tiketnya. Dan paginya lagi berharap aku makin sembuh ternyata makin menjadi-jadi badan ini. Badan begitu sakit seperti di tusuk lancipnya tombak prajurit Maja Pahit pada jaman itu. Bagai Bom Bali I yang mengenai seluruh tubuhku, mama yang semakin panik menyuruhku pergi ke dokter. Pergilah aku dan ayahku ke sebuah mantri desa yang memang jadi dokter di tempat tinggal kami. Sampailah aku di tempat dokter itu, assalamualaikum,,sapa ayahku d rumah dokter itu. Walaikumsalam sahut pak dokter. Tunggu sebentar ya pak lagi ada pasien. Walaupun hal yang paling menyebalkan adalah menunggu tapi mau gmn lagi? Badan udah minta untuk disembuhkan. Tik-tik suara detik jam menunjukkan pukul 07.00 wib, sudah setengah jam aku menungggu namun masih belum kelar juga. Kepala yang sudah tak kuat menambah kekesalanku ke pak dokter. Semenit bagiakan setahun buatku. Apalagi sampai menunggu sampai 2 jam lamanya. Seakan bertahun tahun penderitaan ini. Setelah lama menunggu akhirnya giliranku untuk di periksa. Di kasih resep dan katanya Cuma perlu istirahat karna terlalu capek. Ya mungkin karna banyak kegiatan jadi badan ini ngedrop. Pulanglah aku yang di bonceng ayahku. Obat pemberian dokter langsung aku minum dengan harapan agar cepet sembuh soalnya besoknya adalah hari keberangkatanku menuju ke Kalimantan. Haripun gelap matahari yang seharian pancarkan sinarnya meredup dan berganti dengan sang rembulan. Bintang-bintang menunjukkan keceriaanya, namun tidak terjadi denganku. Harus berpisah dengan keluarga, terutama dengan orang yang slalu ada setiap aku butuhkan. Berharap waktu semakin lambat agar aku bisa lebih lama bersamanya. Tapi waktu tetaplah waktu, tak ada saatu orangpun yang dapat mencegah, menambah apalagi mengurangi. Terlelap aku di malam itu badan yang masihagak sedikit panas member kecemasan orang tuaku. Pagipun datang badan yang masih sedikit lemas langsung menelfon My love. Sekedar kata sapa untuk memulai pagi itu. Ay ntar kerumahku ya? Suruhku saat menelfon. Gak mau ah,,bapak nggak boleh. Sedikit kecewa mendenngar kata itu. Sedikit bertele-tele akhirnya datang juga, mama yang sedang memasak aku perkenalkan pada seorang wanita yang memang sampai sekarang menjadi pelabuhan jiwaku. Baru pertama ada seorang cewek yang berani aku perkenalkan ke ortuku khususnya mama. Karna memang dari dulu mama slalu melarangku buat pacaran, mungkin karna mama mengharapkan aku supaya fokus dulu ke pekerjaan, jangan sampai aku menikah muda. Padahal aku selalu pengen mengenalkan pacarku ke mama, tapi dengan sikap mama yang seperti itu membuat aku merasa takut untuk memperkenalkan pacarku. Jam menunjukkan pukul 13.00 WIB. Akupun berangkat, walau kepala begitu berat. Tangisan mama cewekku membuat aku mersa tertegun, begitu sayangnya membuat rasa berat untuk meninggalkan keluarga itu. Tapi karna memang kontrakku belum habis, yang tetap mengharuskan aku tetap berangkat.
Tak terasa setahun berlalu, rasa seperti hari kemarin aku pulang ke kampong. Lebaran sudah ada didepan mata, tunggu aku pulang kembali*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar